
IMMAWAN WAHYUDI, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
TEROPONGMETRO – Akhir-akhir ini, timbul kegelisahan di tengah warga persyarikatan Muhammadiyah. Setelah pada 2020 ada seorang ustaz ditangkap Densus 88, dan pada tahun ini ada lagi seorang guru SD di Wonosari yang ditangkap Densus 88.
Selanjutnya, di Bengkulu Densus 88 kembali menangkap anggota persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan, kali ini tidak tanggung-tanggung ada tiga orang pengurus Muhammadiyah yang ditangkap. Status kepengurusan ketiga orang ini berbeda-beda.
Namun, RH, CA, dan M diberitakan mereka anggota dan pengurus Muhammadiyah. Wajar jika ada pengurus PP Muhammadiyah secara pribadi memberikan reaksi-reaksi agak keras tentang hal ini.
KH Anwar Abbas, misalnya, menyatakan sebaiknya orang-orang yang ditangkap ini segera dibawa ke meja hijau agar tak berlama-lama dalam tahanan, tanpa ada kepastian benar tidaknya sangkaan teroris terhadap mereka.
Kewajaran reaksi keras dari pimpinan Muhammadiyah yang penulis maksud, bagi warga persyarikatan sangkaan terorisme itu sangat serius dan terdengar terlalu nyaring. Ini terkait realitas warga Muhammadiyah sejujurnya agak kurang minat terhadap hal menyangkut politik praktis.
Di luar perkiraan, agak bersamaan, dua sekolah Muhammadiyah diobrak-abrik orang tak dikenal di Mandailing Natal, Sumatra Utara. Atas peristiwa ini tokoh sekaligus seniman politik, Mustari menyinyalir Muhammadiyah sedang ditarget.
Ada hal yang salah
Penulis menduga, ada hal tidak pas atau ada yang salah dalam komunikasi antara pemerintah dan Muhammadiyah. Tentu ini terkait penangkapan oleh aparat Densus 88. Sebab, tidak dapat dimungkiri Densus 88 adalah kepanjangan tangan Polri.
Polri adalah aparat yang diberi kewenangan oleh penyelenggara negara untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Secara historis, Muhammadiyah sejak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersikukuh Indonesia adalah Darul ‘Ahdi wa Syahadah dan Pancasila dasar negara yang bersifat final.
Maka itu, secara ideologis-politis sulit menghubungkan antara warga Muhammadiyah dan tindakan terorisme karena sama sekali tidak ada mission Muhammadiyah untuk merongrong negara.
Adapun secara politis-historis, memang ada tokoh-tokoh besar Muhammadiyah yang pada masa Orde Lama, seperti Buya Hamka dan Kasman Singodimedjo ditangkap dan ditahan tanpa ada peradilan.
Mestinya sudah tidak ada relevansinya lagi dengan “ideologi-politik” zaman Orde Baru, apalagi zaman Reformasi saat ini. Namun, perlu diingat dengan baik, secara personal presiden masa itu Ir H Sukarno tetap menghormati dan bersahabat dengan Buya Hamka.
Karena itu, kesimpulan penulis, dari sisi komitmen politik dan strategi politik dakwah, tidak ada hal yang perlu diragukan lagi soal kesetiaan dan perjuangan Muhammadiyah menjaga keberlangsungan hidup dan kejayaan NKRI.
Kelewat kritis?
Jika persoalannya adalah adanya figur-figur utama dari Muhammadiyah yang bersifat kritis dan komentarnya terhadap kebijakan pemerintah memang agak keras, seharusnya itu dikembalikan kepada kemerdekaan berpendapat sebagai hak konstitusional bagi setiap warga negara.
Sebab, jika hal ini dilanjutkan untuk menghubung-hubungkan Muhmmadiyah dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah, haruslah diingat bahwa warga Muhammadiyah yang memilih Joko Widodo, baik dalam pemilihan presiden pertama maupun kedua sangat banyak.
Sekali lagi, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada warga persyarikatan memilih siapa pun, sebagaimana Muhammadiyah menghormati pandangan individu warga persyarikatan.
Menutup tulisan sederhana ini, penulis berharap fenomena politik yang bermuara pada perpecahan, saling curiga, dan “adu kuat” hanya melemahkan energi dalam membangun dan dalam berbangsa serta bernegara sesuai tujuan yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Penulis yakin, warga Muhammadiyah, baik di level atas maupun bawah berterima kasih ada warga Muhammadiyah dipercaya menjadi pembantu Presiden Joko Widodo. Ini bisa jadi pintu untuk membangun komunikasi dalam semangat kebersamaan yang bermartabat.(R)