
“Menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah.”
TEROPONGMETRO – Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang wajib dijalankan oleh setiap Muslim. Di balik perintah berzakat, ada sebuah kisah tentang seorang lelaki asal Madinah yang kikir hingga membuat geram Allah SWT dan rasul-Nya.
Dialah Tsa’labah Ibn Hathib al-Anshari, seorang pria miskin asal Madinah yang sempat hidup kaya karena didoakan Rasulullah SAW. Empat ayat diturunkan Allah untuk mengingatkannya dan mengingatkan seluruh Muslim lainnya di seluruh penjuru dunia.
Satu waktu, Tsa’labah mendatangi Rasulullah SAW. Dia meminta agar Nabi Muhammad SAW mendoakannya agar dianugerahi rezeki berlimpah. Sayangnya, Rasulullah menolak permintaan itu.Tsa’labah tidak bosan-bosannya mendesak Rasulullah untuk memenuhi keinginannya. “Doakanlah kepada Allah agar Dia memberiku harta kekayaan,” pinta Tsa’labah.
Meski kerap ditolak, Tsa’labah memohon sekali lagi. Kali ini pun Rasulullah SAW menolak kembali. “Apakah kamu tidak senang menjadi manusia seperti Nabi Allah? Demi Zat yang menguasai diriku, andaikan aku ingin agar gunung itu berjalan di sampingku sebagai emas dan perak, niscaya ia melakukannya,” ujar Rasulullah.
Demi meluluhkan hati Rasulullah, Tsa’labah mengucapkan sumpahnya. “Demi Zat yang telah mengutusmu dengan hak, jika engkau memohon kepada Allah, lalu Dia memberiku harta kekayaan, niscaya aku akan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya,” ujarnya.
Rasullulah memegang janji Tsa’labah. Dia mengamini keinginan Tsa’labah dan berdoa untuk Tsa’labah agar Allah memberikannya rezeki dan memberkahinya. “Ya Allah, anugerahkanlah harta kekayaan kepada Tsa’labah,” ujar Nabi.
Allah memenuhi doa kekasih-Nya itu. Akhirnya, Tsa’labah mendapatkan seekor unta dan domba. Tsa’labah sangat senang. Setiap hari dia berusaha menggemukkan ternaknya, membuat ternaknya bisa menghasilkan susu yang banyak untuk bisa dijual. Tsa’labah masih teguh bersikap istiqamah saat memenuhi panggilan jihad pada Perang Badar.
Seusai perang, dia kembali pada ternaknya. Dia menggembalakannya, menggemukkan yang kurus, dan membesarkan yang kecil. Harinya semakin sibuk seiring bertambahnya jumlah ternak yang dimilikinya. Mereka beranak pinak bak belatung hingga Madinah menjadi penuh sesak.
Akibatnya, dia dan ternaknya menyingkir dan tinggal di sebuah lembah dekat Madinah sehingga dia masih bisa shalat Zhuhur dan Ashar dengan berjamaah. Sedangkan, shalat lainnya dilakukannya sendirian.
Ternaknya terus bertambah. Tsa’labah pun menjadi sangat sibuk. Akhirnya, dia mulai meninggalkan shalat Jumat. Dia hanya menemui orang-orang yang lewat padang rumput tempatnya menggembala untuk menuju shalat Jumat di Masjid Madinah. Tsa’labah hanya menanyakan kabar tanpa menunaikan shalat Jumat.
Saat itu, Rasulullah menangkap ada hal yang aneh dari Tsa’la bah. Dia pun bertanya kepada dua pengendara unta yang ditemuinya. Apa yang dilakukan oleh Tsa’labah? Mereka menceritakan soal ternak Tsa’labah kepada Nabi. Rasul terkejut dan bersabda. “Aduh celaka Tsa’labah, aduh celaka Tsa’labah, celaka Tsa’labah,” katanya.
Selain melalaikan kewajibannya, Tsa’labah juga bersikap kikir. Dia menghindari kewajiban berzakat. “Ini hanyalah pajak, ini adalah semacam pajak. Aku tidak tahu, apa ini? Pergilah sehingga selesai tugasmu, nanti kembali lagi kepadaku,” elak Tsa’labah kepada utusan Rasulullah.
Kabar ini sampai ke telinga Nabi Muhammad SAW dan membuatnya gusar. Maka, Allah kembali menurunkan firmannya dalam surah at-Taubah ayat 75-77 yang berisi sindiran kepada orang-orang yang sebelumnya berikrar akan menyedekahkan sebagian hartanya jika dikaruniai oleh Allah berupa kekayaan, tetapi setelah diberi kekayaan mereka justru menjadi kikir dan berpaling. Karena sikap seperti itu, Allah SWT kemudian menanamkan kemunafikan pada hati mereka sampai tiba ajal sebab mereka telah memungkiri ikrar dan berdusta.
Ketika ayat itu disampaikan Rasulullah kepada para sahabatnya, ada salah seorang kerabat Tsa’labah yang ikut mendengar. Sang kerabat menyampaikan hal itu kepada Tsa’labah yang menjadi kalang kabut. Dia pun pergi menemui Nabi dan memohon agar beliau mau menerima zakat darinya.
Namun, Nabi Muhammad tak mau menerimanya. Sesungguhnya Allah melarangku untuk menerima zakatmu. Kemudian, Tsa’labah yang sangat menyesal melaburi kepalanya dengan tanah. Lalu, Rasulullah berkata kepadanya, “Inilah amalanmu. Aku telah memerintahkan sesuatu kepadamu, tetapi engkau tidak mau mematuhiku.” Hingga Rasulullah dan para khalifah tidak menerima sedikit pun zakatnya.
Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi Saw, para sahabatnya, dan segenap kaum Muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut.
Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup–kecuali Utsman bin Affan–karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah.
Kalangan Anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramahtamahan yang luar biasa. Meski demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.
Perhatian orang-orang Makkah pada perdagangan ini diungkapkan dalam Alquran pada ayat-ayat yang mengandung kata-kata tijarah: “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat) (QS an-Nur:37).
Tidak semua orang Muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang Anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian Rasulullah SAW menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Madinah ini, Islam mulai menemukan kekuatannya.
Ayat-ayat Alquran yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu Allah SWT dalam surah ar-Rum ayat 39: ”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Namun, menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah. Pada tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan.
Firman Allah SWT surah al-Mu’minun ayat 4: “Dan orang yang menunaikan zakat”. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2 Hijriyah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu berikut ini, “Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Baqarah: 110). Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan sebagai sebuah perintah, dan bukan sekadar anjuran.
Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, “Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua Hijriyah. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata”.
Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah–menurut keterangan yang masyhur–ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara terperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriyah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.(R)