
TEROPONGMETRO – Pertentangan yang dipertontonkan sejumlah elit berlatar Nahdlatul Ulama (NU) belakangan ini menggambarkan ketegangan di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia itu akibat persaingan politik memperebutkan suara warga NU menjelang Pilpres 2024.
Pernyataan Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas yang menyarankan masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin “bemulut manis dan berwajah ganteng”, menuai reaksi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Muhaimin Iskandar yang akan “mendisiplinkannya”.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai hal itu lagi-lagi menggambarkan “ketegangan” di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) akibat kontestasi pemilihan presiden.
Yaqut disebut merepresentasikan posisi Pengurus Besar NU, yang kini dipimpin oleh kakaknya, Yahya Cholil Staquf.
Sedangkan Muhaimin Iskandar – yang memiliki riwayat panjang perseteruan dengan keluarga Gusdur – telah memilih menjadi calon wakil presiden Anies Baswedan, sosok yang dipersepsikan berseberangan dengan NU.
“Ketegangan PKB dan Gus Menteri [Yaqut] ini titik kulminasi [puncak] dari hubungan tak harmonis dari kubu yang berbeda,” kata Adi kepada BBC News Indonesia.
“Gus Menteri kerap mengeluarkan statement yang bernada bercanda tapi sangat mengandung unsur politik yang dikaitkan dengan kritiknya ke kubu AMIN [Anies-Muhaimin],” sambungnya.
Peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil mengatakan perseteruan dua kubu ini akan memecah suara NU pada Pilpres 2024.
Sebab, langkah Anies meminang Muhaimin bertujuan untuk menggaet suara NU yang kantong suara terbesarnya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Meskipun, survei terbaru Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa langkah itu ternyata belum berdampak pada elektabilitas Anies di Jawa Timur yang lebih rendah dibandingkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Besarnya basis massa NU juga membuat tokoh-tokohnya dilirik oleh kubu Ganjar dan kubu Prabowo.
Pada titik ini lah, Adam mengatakan sikap politik para tokoh dan kyai NU akan memengaruhi pilihan pemilihnya di akar rumput.
Sedangkan menurut Adi, perseteruan dengan tokoh-tokoh PBNU yang kerap kritis terhadap Anies-Muhaimin akan “sangat merugikan” PKB.
Bagaimana duduk perkaranya?
Ketika memberi sambutan di acara doa bersama umat Buddha di Solo ada Jumat (29/09), Yaqut meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin “secara asal-asalan”.
“Saya berharap nanti bapak ibu sekalian dalam memilih pemimpin negeri ini untuk 2024-2029 benar-benar dilihat rekam jejaknya. Jangan karena bicaranya enak, mulutnya manis, mukanya ganteng itu dipilih, jangan asal begitu, harus dilihat dulu track record-nya,” kata Yaqut dikutip dari Detik.com.
Dia juga meminta agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai kepentingan politik. Yaqut kemudian menyinggung pemilu-pemilu sebelumnya.
“Kita punya sejarah tidak baik beberapa waktu yang lalu ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta kemudian dua pilpres terakhir, agama masih terlihat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan,” kata Yaqut.
Muhaimin kemudian meresponsnya dengan mengatakan bahwa itu adalah “omongan buzzer”.
Sedangkan Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengatakan telah menyiapkan “langkah-langkah pendisiplinan”.
Menurutnya, PKB telah mengusung pasangan Anies-Muhaimin (AMIN) dan semua kader PKB telah mendukung itu.
“Yang tidak setuju dengan itu berarti menyimpang dari keputusan organisasi. Publik akan tahu siapa kader-kader PKB yang menyimpang dari keputusan organisasi dan pasti akan menerima disiplin organisasi,” kata Jazilul.
Apa yang melatari pernyataan itu dan mengapa PBNU tak dukung PKB?
Menurut Adi, pernyataan Yaqut bernada “normatif” dan “berlaku umum kepada siapa pun”.
Namun tidak bisa dipungkiri, pernyataan itu ternyata menyinggung PKB. Itu dibuktikan dari sikap PKB yang ingin “mendisiplinkan” Yaqut.
“Sentilan-sentilan” dari Ketum PBNU Gus Yahya dan Yenny Wahid kepada Muhaimin, begitu pula sebaliknya, berulang kali mencuat.
Sebelum Muhaimin menjadi cawapres Anies, Yenny pernah menyatakan akan menarik diri dan tidak akan mendukung Prabowo jika Cak Imin yang menjadi bakal cawapresnya.
Lalu pada Agustus lalu, Gus Yahya pernah menyatakan bahwa “PKB bukan partai politik yang merepresentasikan NU”.
Muhaimin merespons pernyataan itu dengan mengatakan, “enggak usah dibahas, barang lawas”.
Kemudian pada awal September lalu, Gus Yahya berulang kali menegaskan bahwa “tidak ada calon atas nama NU”.
“Kalau ada klaim bahwa kyai-kyai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar. Tidak ada sama sekali pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden karena itu di luar domain kami sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan,” kata Yahya.
Adi mengatakan sikap Yahya telah terlihat sejak membentuk kepengurusan PBNU 2022-2026 yang merangkul semua elemen partai, sehingga PKB tidak mendominasi.
“Sejak awal Gus Yahya jadi Ketua Umum PBNU yang menegaskan bahwa NU bukan alat partai tertentu. Dalam banyak hal, ini sangat merugikan PKB yang selama ini positioning dan branding-nya sebagai partai NU,” kata Adi.
Langkah Muhaimin dalam Pilpres 2024 disebut Adi menjadi “titik puncak” ketegangan karena warga NU selama ini berada dalam posisi berseberangan dengan para pendukung Anies.
“Mesti diakui, selama ini warga NU memang saling berhadap-hadapan dengan pendukung Anies. NU paling sibuk berada di baris terdepan lawan serangan kubu pendukung Anies.”
“Wajar kemudian ketika Cak Imin bergabung dengan Anies, aktivis NU tulen seperti Gus Yaqut kerap terbuka menyindir bahkan bertendensi mengkritik,” ujar Adi.
Apa dampaknya terhadap massa NU di akar rumput?
Peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil mengatakan pilihan para tokoh dan kyai-kyai NU akan memengaruhi pilihan pemilih dari ormas ini.
“Bagaimana pun, masyarakat di akar rumput itu jaraknya jauh dengan para calon presiden. Mereka dekatnya dengan simpul-simpulnya, yaitu kyainya. Itu yang sehari-hari berhubungan dengan masyarakat dan dimintai pendapatnya,” kata Adam.
Pola itu kemungkinan tidak akan menguntungkan bagi kubu Anies-Muhaimin.
Survei yang dirilis Indikator Politik Indonesia pada Minggu (01/10), menunjukkan bahwa elektabilitas Anies di Jawa Timur merupakan yang paling rendah dibandingkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Sebanyak 64,9% pemilih di Jawa Timur disebut sebagai “pemilih kuat” yang kecil kemungkinan bahkan tidak mungkin mengubah pilihannya.
Menurut Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf, itu terjadi karena para kyai “nelongso dan prihatin” dengan deklarasi Muhaimin yang “mendadak”. Para kyai, kata dia, memerlukan waktu untuk mencernanya.
“Karena memang setelah deklarasi, masih banyak kyai yang mencerna apa yang terjadi. Karena itu mendadak, tiba-tiba, dapat informasi dari sejumlah kyai, tidak dapat pemberitahuan sebelumnya, padahal sebelumnya komunikasinya lancar,” papar Saifullah.
“Banyak pula yang menganggap ini deklarasi meninggalkan Gus Dur, karena deklarasi dengan orang-orang yang dipersepsikan berseberangan dengan Gus Dur,” kata dia.
Salah satu kyai NU di Jawa Timur, Syahrul Munir atau yang akrab disapa Gus Syahrul, mengatakan bahwa di lingkungannya, belum ada yang membicarakan tentang pemilihan presiden.
Dia menyadari bahwa suara Nahdliyin kini serupa “makhluk Tuhan yang paling seksi” alias diperebutkan oleh para politisi.
“Tapi kami enggak akan memperjuangakan nama, tapi cita-cita keadilan masyarakat dan yang terpenting satu visi dan misi dengan NU,” kata Syahrul.
Mengapa suara NU penting dalam Pilpres mendatang?
Suara NU menjadi rebutan karena merupakan organisasi masyarakat dengan basis massa terbesar di Indonesia. Mereka tersebar di berbagai wilayah dan sebagian besar berada di Jawa Timur.
“Di antara 85% orang Indonesia yang mengaku Islam, 20 persennya adalah orang yang merasa atau dekat dan menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. Besar jumlahnya, makanya diincar,” kata Adi kepada BBC News Indonesia.
Secara khusus, NU juga dikatakan memiliki “kantong suara” di Jawa Timur, provinsi kedua dengan jumlah populasi terbanyak di Indonesia.
Itulah sebabnya, suara dari kalangan NU selalu dianggap penting oleh calon-calon presiden.
Suara yang besar dari Nahdliyin, lanjut Adi, dibutuhkan oleh Anies Baswedan yang lemah di Jawa Timur dan lemah di kalangan NU.
Hal yang sama juga dibutuhkan kubu Prabowo Subianto. Pada Pemilu 2014 dan 2019, Prabowo dikatakan kalah suara di Jawa Timur, salah satunya di kalangan NU.
Sementara bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kehadiran NU menjadi penting karena partai berlambang banteng itu memiliki “hubungan historis” dengan para ulama NU, bahkan sejak Orde Lama.
NU juga dianggap melengkapi irisan Islam dalam PDIP sebagai partai nasionalis.
Tidak hanya dari kuantitasnya, secara kualitas NU juga diyakini “tidak pernah kehabisan kader yang unggul” dan bisa “dipromosikan” di level kepemimpinan nasional.
Ke mana arah suara NU?
Menurut Adam, perseteruan antara PBNU dan PKB bisa dipastikan akan membuat suara para Nahdliyin terpecah.
PBNU sendiri sejauh ini menyatakan tidak mendukung siapa pun, namun menurut Adam, kecenderungan pilihan politik tokoh-tokoh PBNU akan tetap terlihat. Terutama setelah ada pernyataan yang mengarah pada kritik terhadap kubu Anies-Muhaimin.
“Kalau bahasa publiknya tentunya netral, tapi kalau dari bahasa tubuhnya, yang direpresentasikan oleh PBNU ya yang cenderung dekat dengan pemerintah,” kata Adam.
Adam memprediksi tokoh-tokoh NU akan melabuhkan pilihannya pada Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto, sebagai sosok capres yang saat ini “dekat dengan pemerintah”.
Siapa figur-figur NU dalam bursa bakal cawapres?
Sejauh ini, tokoh-tokoh NU yang namanya disebut-sebut di dalam bursa calon wapres adalah Khofifah Indar Parawansa dan Mahfud MD.
Pada akhir September lalu, Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo menyebut nama Khofifah sebagai salah satu bakal calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.
Sementara itu, Mahfud MD menjadi salah satu nama yang santer digadang menjadi calon wapres Ganjar.
Ketika ditanyai wartawan pada Selasa (03/10), Mahfud mengatakan dia “tidak bisa menjawab” dan keputusan soal siapa cawapres Ganjar “adalah keputusan partai politik”.
Dia mengaku bahwa dirinya telah bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno-Putri. Namun pertemuan itu, katanya, untuk “membahas ideologi dan konstitusi”.
“Ndak ada [bahas cawapres], masa menawarkan cawapres di tempat begitu, itu nanti urusan Bu Mega yang akan menentukan jadwalnya,” kata dia.
Sehari sebelumnya, politisi PPP Romahurmuziy mengatakan bahwa Mahfud dan Khofifah telah bertemu dengan Megawati “secara terbatas pada kesempatan terpisah”.(tM)